Jumat, 22 November 2013

KEBUDAYAAN MAPALUS

Kebudayaan Mapalus

Kerja sama adalah cara untuk membangun hubungan suatu perkumpulan atau kelompok yang dapat mempererat satu sama lain. KERJA SAMA!!! adalah juga suatu kegiatan positif untuk dapat mencapai suatu tujuan.
NAAAH!!! hal ini diterapkan oleh suatu suku di Sulawesi Utara yang dijadikan suatu budaya. Dan sudah seharusnya kita dapat meniru budaya tersebut!!!!! kamu tau budaya itu???
YUUUP!!!
BUDAYA MAPALUS!!!!
Mapalus merupakan sebuah tradisi budaya suku Minahasa dimana dalam mengerjakan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong. Budaya mapalus mengandung arti yang sangat mendasar. Mapalus juga dikenal sebagai local Spirit and local wisdom masyarakat di Minahasa.
Seperti apa kerja sama masyarakat dalam melakukan kebudayaan mapulus????
nih gambarnyaaaa :



Mapalus juga adalah suatu sistem atau teknik kerjasama untuk kepentingan bersama dalam budaya Suku Minahasa. Mapalus merupakan salah satu tradisi gotong royong yang diwariskan oleh para leluhur dari tanah Toar dan Lumimu’ut yang didasarkan pada falsafah hidup orang Minahasa yaitu “Si Tou Timou Tumou Tou” dan berkaitan erat dengan motto Sulawesi Utara yaitu “Torang Samua Basudara”  yang sampai saat ini tetap ada dan tak akan lekang oleh waktu. 
   
Pada awalnya mapalus dilakukan khusus pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang pertanian, mulai dari membuka lahan sampai memetik hasil atau panen. Tetapi seiring dengan perkembannganya Budaya Mapalus tidak hanya terbatas di bidang pertanian, melainkan juga diterapkan dalam setiap kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan, dan hampir di segala bidang kehidupan, seperti dalam kegiatan-kegiatan upacara adat, mendirikan rumah, membuat perahu, perkawinan, kematian, dan sebagainya.

Dengan adanya mapalus membuat masyarakat minahasa menjadi lebih bersaudara satu dengan yang lain tanpa memandang suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

pelatihan masyarakat

Beberapa anggota Tim Juri 2 saat melakukan penilaian di wilayah RW 07 Mulyorejo, Senin (18/11) lalu.

MALANG - Penilaian Lomba Kampung Bersinar yang digelar oleh Dinas Kebersihan dan Pariwisata (DKP) Kota Malang sudah memasuki wilayah Kecamatan Sukun. Tim juri selalu memberikan evaluasi setiap kali usai melakukan penilaian. Dalam evaluasi tersebut Tim Juri juga memberikan kesempatan warga untuk bertanya seputar Lomba Kampung Bersinar. Warga, ternyata juga tidak saja bertanya, tetapi juga mengajukan permohonan.
Seperti, yang dilakukan oleh warga RW 07 Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Sukun. Elisabeth, Ketua TP PKK, dalam sesi evaluasi meminta kepada DKP agar warganya diajari membuat kerajinan tangan dari daur ulang sampah. “Keterampilan kami masih sangat terbatas dalam membuat karya kerajinan dari sampah kering. Karena itu apakah kami bisa dilatih untuk membuat keterampilan yang lebih bervariasi agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi,” tanya Elisabeth.
Salah satu Tim Juri, Dharsono menjawab, permintaan pelatihan membuat kerajinan oleh warga akan segera direspons oleh DKP. “Permintaan seperti itu baik sekali. Ibu buat surat permohonan pelatihan kepada DKP. Nanti, akan segera dijawab oleh DKP. Cuma, untuk pengumpukan warga yang mau ikut serta persiapan tempatnya harus dilakukan oleh warga. Nanti, jika sudah siap, DKP akan segera turun memberikan pelatihan,” ujar Ketua Kader Lingkungan Kota Malang tersebut.
Kesempatan evaluasi juga digunakan untuk bertanya seputar Bank Sampah Malang (BSM). Warga di RW 07 ternyata juga sangat tertarik program BSM. “Kadang kami agak kesulitan mengirim sampah dari warga yang sudah siap jual. Katanya, sampah akan diambil oleh petugas. Tetapi, kabarnya harus nunggu sampai sampah mencapai satu pick up penuh. Padahal, untuk menunggu satu pick up penuh kan agak lama. Bagaimana ini, apakah ada solusinya?,” tanya Elisabeth lagi.
Ny. Indra, salah satu anggota juri yang lain mengatakan, jika warga ingin menjual sampah kering yang sudah terkumpul dari warga, bisa menghubungi Bank Sampah. “Tidak usah menunggu sampai satu pick up penuh Bu. Jika memang sudah terkumpul, misal masih setengah pick up banyaknya, telpon saja ke BSM, nanti petugas BSM yang akan mengambilnya. Sampah kering lebih baik dijual ke BSM Bu, sebab di BSM ada sekitar 72 item sampah kering yang bisa dijual di sana, “ jawab pegiat BSM tersebu

Kamis, 21 November 2013

TINGKAT KECEPATAN ADOPSI INOVASI

shafiatulamala.blogspot.com
TINGKAT KECEPATAN ADOPSI INOVASI

            Tingkat adopsi adalah kecepatan yang relatif di mana sebuah inovasi diadopsi oleh anggota dari sistem sosial. Hal ini secara umum diukur dengan banyaknya jumlah individu yang mengadopsi suatu ide baru dalam rentang waktu tertentu.
            Menurut Rogers (1983), tingkat adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yaitu : atribut/karakteristik inovasi (keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, trialabilitas, observabilitas/dapat diamati), Jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi (media massa atau interpersonal), sifat dasar sistem sosial (norma, sifat saling keterhubungan individu), upaya promosi agen perubahan.


ATRIBUT ATAU KARAKTERISTIK INOVASI
            Cepat lambatnya penerimaan inovasi oleh masyarakat luas dipengaruhi oleh karakteristik inovasi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Zaltman, Duncan, dan Holbek bahwa cepat lambatnya suatu inovasi diterima dan diikuti oleh masyarkat tergantung pada atribut atau karakteristik inovasi tersebut.
            Atribut atau karakteristik inovasi adalah salah satu hal yang penting dalam menjelaskan tingkat adopsi suatu inovasi. Dari 49 hingga 87 persen dari variasi dalam tingkat adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh lima atribut/karakteristik inovasi, yaitu keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, trialabilitas, observabilitas.
TIPE KEPUTUSAN INOVASI
            Suatu inovasi yang diadopsi secara individual secara umum diadopsi lebih cepat dari pada suatu inovasi yang diadopsi oleh suatu kelompok. Semakin banyak orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan nuntuk mengadopsi suatu inovasi maka tingkat adopsi akan semakin lambat. Artinya, kecepatan tingkat adopsi inovasi dalam rangka untuk membuat sebuah keputusan inovasi tergantung semakin sedikitnya individu yang terlibat.
SALURAN-SALURAN KOMUNIKASI
            Saluran komunikasi merupakan suatu ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
            Saluran-saluran Komunikasi biasanya digunakan untuk mendifusikan suatu inovasi, juga dapat mempengaruhi tingkat adopsi inovasi. Contohnya jika saluran interpersonal (dibandingkan saluran media massa) menciptakan kesadaran ilmu pengetahuan, sebagaimana seringkali terjadi pada pengadopsi selanjutnya, tingkat adopsi mereka terjadi secara lambat.
          Jika sebuah saluran komunikasi yang tidak pantas digunakan, melalui seperti media massa untuk ide-ide baru yang rumit/kompleks/sulit dipahami, hal ini akan mengakibatkan tingkat adopsi yang rendah.
KONDISI SISTEM SOSIAL
            Sistem sosial merupakan berbagai unit yang saling berhubungan satu sama lain dalam tatanan masyarakat, dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Beberapa hal yang dikelompokkan sebagai bagian atau unit dalam sistem sosial kemasyarakatan antara lain meliputi : individu anggota masyarakat, tokoh masyarakat, pemimpin formal, kiai, kelompok tertentu dalam masyarakat. Kesemuanya secara nyata, baik langsung ataupun tak langsung mempengaruhi dalam proses difusi inovasi yang dilakukan.
            Skema variable tingkat adopsi inovasi di atas menunjukkan sifat dasar sistem sosial, seperti norma-norma masyarakat atau suatu sistem dan tingkat di mana struktur jaringan komunikasi saling berhubungan erat, juga mempengaruhi tingkat adopsi inovasi.
Peran Norma dalam Difusi Inovasi
            Norma merupakan hal yang penting dalam proses difusi inovasi. Lebih jauh dalam kaitannya dengan sistem sosial, norma yang dianut oleh masyarakat dapat dipandang sebagai pengikat dan pengukuh pola prilaku masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan kaidah sistem sosial yang berlaku.
            Dalam kadar tertentu norma yang dianut juga dapat dipandang sebagai standar dari suatu tatanan prilaku masyarakat yang diianut. Norma itu sendiri bisa bercirian budaya lokal, bernafas keagamaan, ataupun ciri khusus suatu masyartakat tertentu, yang memberi warna tersendiri terhadap sosial budaya masyarakat yang bersengkutan. Namun demikian, di sisi lain norma suatu sistem juga bisa berperan sebagai pengahalang atau barrirers suatu perubahan. Banyak contoh kasus inovasi yang terganggu atau mengalami daya tolak masyarakat (resistensi) karena faktor norma sosial yang dianut oleh masyarakat. Misal, di beberapa provinsi di India, banyak sapi peliharaan yang dianaggap suci sehingga tabu bagi masyarakat untuk menyembelihnya, padahal masyarakat yang bersangkutan umumnya rawan gizi daan rawan protein hewani. Inovasi yang dilakukan termasuk perubahan di bidang pendidikan, direncanakan dan diorganisasikan sedemikian rupa sesuai dengan
social system yang dianut. Yang dimaksud dengan sistem sosial dalam pendidikan misalnya : lembaga sekolah (dasar, menengah, dan pendidikan tinggi), masyarakat pendidikan, malahan mungkin menjamah sistem organisasi yang lebih luas lagi yang berkaitan langsung dengan layanan pendidikan seperti : Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dewan sekolah, organisasi profesi guru PGRI, dan sebagainya.
UPAYA PROMOSI PERLUASAN AGEN-AGEN PERUBAHAN
          Dalam sistem sosial, salah satu komponen penting adalah pemimpin pendapat (opinion leaders) dan agen perubahan. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa difusi inovasi yang pada dasarnya sebagai penyebarluasan dari gagasan inovasi tersebut melalui suatu proses komunikasi yang dilakukan dengan mengunakan saluran tertentu dalam suatu rentang waktu tertentu di antara anggota sistem sosial masyarakat. Oleh karena sistem sosial merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi, maka proses difusi inovasi tak senantiasa berjalan mulus, karena perbedaan latar belakang dan sistem sosial yang berlaku. Sering peran pemimpi pendapat (opinion leaders) sangat berpengaruh pada prilaku individu.
            Pemimpin pendapat adalah suatu tingkat dimana seorang individu dapat mempengaruhi individu yang lainnya atau mengatur prilaku individu lainnya secara tidak formal ke arah kondisi yang diharapkan, sesuai dengan norma yang berlaku. Sedangkan agen perubahan (change agent)merupakan individu yang bisa mempengaruhi pengambilan inovasi klien ke arah yang diharapkan para agent perubahan.
            Tingkat adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh upaya promosi agen-agen perubahan. Hubungan antara tingkat adopsi dan upaya agen-agen perubahan mungkin tidak terjadi secara langsung dan linear. Hasil yang lebih besar dari jumlah yang diberikan aktivitas agen perubahan terjadipada tahap tertentu dalam difusi inovasi. Respon terbesar terhadap upaya agen-agen perubahan terjadi ketika pendapat/opini dari pemimpin diadopsi. Inovasi kemudian berlanjut menyebar dengan sedikit promosi dari agen-agen perubahan, setelah kritik ataupun tanggapan masyarakat diterima.
Selain itu, ditemukan bahwa (a) sampai tingkat kesadaran inovasi mencapai 20-30% tingkat adopsi rendah, sedangkan setelah ambang tersebut tingkat kesadaran dan tingkat adopsi meninggi dan (b) overadopsi adalah fenomena inovasi diadopsi padahal menurut para ahli sebaiknya tidak diadopsi.
 EFEK DIFUSI
            Tidak hanya usaha agen pembaru yang punya efek berbeda pada titik yang berbeda dalam urutan kecepatan adopsi suatu inovasi, tetapi tekanan-tekanan sistem terhadap pengadopsian juga berubah begitu proporsi anggota sistem yang mengadopsi meningkat. Kami menyebut peningkatan tekanan jaringan antar pribadi ini sebagai “efek difusi” (diffusion effect).
            Efek difusi adalah peningkatan kumulatif kekuatan pengaruh terhadap seseorang untuk mengadopsi inovasi atau menolak suatu inovasi dikarenakan pergerakan jaringan kawan-sebaya berkenaan dengan inovasi dalam suatu sistem sosial. Misalnya, ketika hanya 5 persen orang dalam suatu sistem sosial yang mengetahui suatu ide baru, tingkat pengaruh terhadap seseorang untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi itu sangat berbeda ketika 95% anggota sistem itu telah mengadopsi. Dengan kata lain, norma-norma sistem mengenai inovasi itu berubah seiring dengan berjalannya waktu, ketika proses difusi itu berlangsung, dan ide baru itu sedikit demi sedikit menyatu dengan arus kehidupan sistem itu. Lingkungan komunikasi sistem itu berkenaan dengan inovasi iti berubah begitu jumlah orang yang mengadopsi bertambah. Ada antar hubungan yang kompleks tetapi penting antara menyebarnya pengetahuan me-ngenai suatu inovasi di dalam suatu sistem  dan kecepatan adopsinya. Dalam satu hal, tingkat pengetahuan pada suatu waktu tertentu merupakan indikasi keseluruhan informasi mengenai inovasi yang ada pada rata-rata orang di dalam sistem itu. Bila level informasi seperti itu (bergabung dengan pengaruh jaring-an) sangat rendah, pengadopsian inovasi tidak mungkin bagi setiap orang. Bila level informasi penilaian inovasi meningkat melampaui ambang batas tertentu, pengadopsian sangat mungkin terjadi tekanan-tekanan jaringan sosial terhadap adopsi meningkat. Hubungan ini positif tetapi tidak linier dan langsung. Begitu tingkat pengetahuan-kesadaran tentang inovasi meningkat sampai 2-30 persen, sangat sedikit terjadi adopsi. Kemudian, begitu titik ambang ini terlampaui setiap tambahan persentase pengetahuan-kesadaran dalam sistem itu biasanya disosiasikan dengan beberapa persentase yang meningkat dalam kecepatan adopsi. Efek difusi berarti bahwa sampai orang memiliki suatu level pengetahuan tertentu dan pengaruh teman sebayanya dalam sistem sosial itu berada pada level minimum, dia tidak mungkin mengadopsi. Tetapi begitu ambang ini terlampaui (titik ambang yang pasti untuk setiap inovasi dan setiap sistem adalah berbeda), pengadopsian ide itu selanjutnya ditingkatkan oleh setiap masukan tambahan pengetahuan dan pengaruh terhadap lingkungan komunikasi sistem. Suatu ambang agaknya terjadi sekitar titik dimana para pemuka pendapat dalam suatu sistem mulai berkenan terhadap inovasi.
            Suatu penyelidikan kecepatan adopsi lima inovasi makanan di kalangan 1.028 ibu rumah tangga di lima desa Guatemala memberi beberapa bukti lebih lanjut tentang pentingnya efek difusi dalam menjelaskan kecepatan adopsi (Mendez, 1968). Semakin cepat kecepatan adopsi diketemukan pada desa-desa yang sangat padu dimana lebih banyak dari mereka yang terjangkau oleh jaringan-jaringan antar-pribadi. Bukti yang mendukung diberikan oleh Guy Mares (1968), Yadav (1967), Coughenour (1964), dan Colleman et al (1966). Di semua kasus tampak bahwa sistem-sistem sosial yang anggotanya lebih erat dikaitkan jejaring komunikasi (guyub), punya efek difusi yang lebih kuat dan suatu kecepatan adopsi inovasi yang lebih cepat. Kami menyimpulkan pembahasan ini dalam rampatan 6-6: tingkat saling keterkaitan dalam suatu sistem sosial berhubungan positif dengan kecepatan adopsi inovasi.
            Di seluruh buku ini, kita melihat betapa penilaian subyektif terhadap suatu inovasi menggerakkan proses difusi, melalui jaring-jaring antar pribadi.
ADOPSI BERLEBIH (OVERADOPTION)
            Overadopsi adalah pengadopsian inovasi oleh seseorang ketika para ahli menganggap bahwa sebetulnya dia seharusnya menolak. Ada beberapa kemungkinan alasan overadopsi, termasuk tidak lengkapnya pengetahuan si pengguna  tentang inovasi itu, ketidak-mampuan memperkirakan akibat-akibat penggunaannya, atau aspek-aspek yang menyangkut status dari ide baru. Yang umum adalah bahwa ada orang-orang tertentu punya semacam kegemaran untuk sesuatu yang baru (maniak inovasi) sehingga sepintas mereka tampak sebagai pelahap perubahan.
Seringkali sulit menentukan apakah seseorang harus mengadopsi suatu inovasi atau tidak. Rasionalitas, yang diartikan sebagai penggunaan cara-cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan, tidak gampang diukur. Klasifikasi kadang-kadang dapat dibuat oleh para ahli mengenai inovasi yang sedang dikaji. Dalam satu hal, kebanyakan orang memandang dirinya/tindakannya rasional. Karena ketiadaan pengetahuan atau kekurangtepatan persepsi, penilaian seseorang tentang suatu inovasi mungkin tidak sesuai dengan penilaian para pakar. Perhatian utama kami adalah pada rasional obyektif pada kasus yang ada, dan bukan pada rasional subyektif seseorang (yang mengadopsi inovasi).